Senin, 27 Januari 2014

Ejekan


Siang itu pulang sekolah, tiba-tiba Shafa  bilang " Ma...bisa nggak tahilalat diwajahku dihilangkan??"....whaaat???? aku terbelalak...tak ada angin, tak ada hujan tiba-tiba my teenager ini perhatian sama penampilan. Shafa yang selama ini cuek dengan penampilan, tiba-tiba mempermasalahkan tahi lalat..
Tenang dan sabar berusaha aku tampilkan di hadapannya. "Emangnya kenapa, Kak?? Kamu cantik kok dengan tahi lalat diwajahmu itu". "Tapi aku sering diejek, Ma..."...Aku tersenyum, dalam hatiku berkata "Ini saatnya aku membekali jiwanya"...hhmmmm...gadis cantikku...
Kepada kedua putriku, selama ini, aku dan suami mengajarkan cara menghadapi ejekan dan ledekan yang akan ia terima nanti. Sebaik-baiknya kita, pasti akan ada orang usil. Bukankah di dunia ini Allah ciptakan kebaikan-keburukan. Tak semua anak diajarkan sopan santun oleh orangtua mereka, dan kemarahan bukanlah solusi yang tepat untuk menghadapi keisengan teman-temannya.
Awalnya saya mengajarkan kakak cara bercanda yang benar, ketika bermain atau berbicara dengannya, pelan-pelan saya selipkan dengan bercanda dengannya. Ketika ia bermain dengan adek, dan tentu saja ia menerapkan cara saya tadi, tapi saya perbaiki kalau dia bercanda dengan menghina fisik atau sesuatu hal yang negatif.
Gak mudah memang, apalagi untuk anak saya yang dulunya amat cengeng dan manja ini. Tapi konsekuensi akan berjalan lebih mudah kalau menjalaninya dalam kehidupan sehari-hari termasuk mengajak semua anggota keluarga terlibat aktif. Seringkali saya malah ikut memberi peringatan pada anggota keluarga lain yang tak memahami cara saya mendidik Kakak dan untungnya selalu didengarkan. Lama-lama Kakak malah berubah menjadi anak yang humoris dan sedikit jahil.
Satu hal lagi, selain memberi tahu kekurangan Kakak. Saya juga memberikan lebih banyak lagi kelebihan Kakak. Setiap kali ia melakukan sesuatu yang baik, bahkan hal-hal kecil seperti menyapu rumah tanpa diminta, maka berhamburan pujian untuknya. Melalui program papanya, Kakak juga diperkenalkan dengan rasa empati dan bersyukur. Seminggu sekali kami ajak ke panti asuhan ataupun yayasan anak cacat. Semua demi membangun kepercayaan dirinya bahwa dia memiliki kekurangan, tapi juga memiliki kelebihan. Dan kelebihan itu yang harus disyukuri. Saya lebih sering memberikan contoh remaja-remaja yang inspiring. Saya harus ubah mindset kebanyakan bahwa remaja gaul, adalah remaja yang selalu mengikuti trend mode terkini. Saya gak bisa pungkiri, di lingkungan sekolah kakak, mindset itulah yang berkembang di kalangan remaja.Saya dan suami terus berusaha menekankan, bahwa remaja gaul itu adalah remaja yang berprestasi, peduli sesama dan berakhlakul karimah.
Kembali saat menghadapi ejekan, Kakak juga belajar menghadapi ejekan dengan membalik kata-kata ejekan itu menjadi bahan guyonan. Satu dua kali ia menceritakannya pada saya (meski terus terang saja saya sendiri pengen marah saat mendengarnya) dan ia selalu tersenyum geli karena berhasil. Yang lebih penting, semua orang tahu sekarang kalau percuma aja mengejek Shafa  karena ujung-ujungnya justru berbalik kesal sendiri.
Namun, di atas semua usaha itu. Jangan pernah, DO NOT EVER, menghina atau mengejek anak anda sendiri walaupun sekedar bercanda. Pengakuan utama yang paling penting bagi seorang anak adalah dari orangtua mereka sendiri, orang-orang yang mereka percayai setiap kata-katanya. Sampai kapanpun, penghinaan orangtua itu akan selalu diingat dalam hati setiap anak. Maka berhati-hatilah saat berkata pada mereka, meski semarah apapun.
Saat anak lahir, mereka adalah bintang di hati orangtua mereka. Maka jadikanlah selalu bintang di rumah kita, karena setiap anak itu berharga. Dunia di luar rumah, bukan tentang dunia yang baik dan buruk karena kita tak bisa mencegah anak-anak dari masalah. Kita wajib mengajarkan mereka cara menghadapi masalah, bukan untuk menghindari masalah.

Anak Hebat!!!!!!

Tiga minggu yang lalu, aku, suami dan anak-anak "main" ke Yayasan Sayap Ibu Bintaro untuk nyumbang beberapa barang anak-anak yang udah ga dipake. Niatnya sih udah lama ada, tapi waktu nya ga ada. Kepikir untuk minta tolong jasa ojek aja bawain barang2 itu, tapi kok rasanya gak sreg ya..pengen nyumbang kok nyuruh orang lain.

Kenapa ke Yayasan Sayap Ibu??? Awalnya kami browsing yayasan yang lokasinya dekat rumah kami di Ciledug, selain sekedar untuk berbagi, aku dan suami ingin banget menanamkan rasa empati dan bersyukur pada Shafa dan Dhita, dua puteri cantikku.

Akhirnya kami menemukan Yayasan Sayap Ibu Bintaro. Meluncurlah kami kesana....

Cus lah siang2 abis dzuhur kita berangkuts.

Kondisi panti nya sendiri sih bersih dan terawat. Kamar2 ber AC semua dan semua furniture nya bagus. Ada 2 kamar dan sekitar 26 anak yang dirawat di panti. Oh ya, di panti ini khusus untuk anak2 yang mempunyai kelainan atau cacat.

Bisa ditebak lah, ga tega liat anak2nya :____(

Rata2 anak penderita hydrocephalus (spelling?) dengan kondisi kepala besar. Bahkan ada yang besar banget kepalanya dengan diameter kira2 30cm.
*mewek*

Kasian bangettt...

Ga cuma yang masih kecil2, yang umur nya belasan taun pun ada :(
Mereka kalo mau ngapa2in ya harus dibantu sama pengasuh nya.
*mewek lagi*
Meski "mewek", kita harus tersenyum di depan mereka...kenapa???...karena mereka anak-anak hebat!!!! Meski mereka kekurangan secara fisik, tapi jiwa mereka tangguh.

Kalo udah kayak gini rasanya tuh bersyukur banget ya punya anak yang sehat *peluk Shafa dhita kenceng*
Rasanya kayak ditampar kok selama ini jadi emak ga sabaran banget..... Begitu liat yang jalan aja gak bisa dan harus pake kursi roda rasanya langsung nyesss gitu ya.....hiks

Sorry...aku nggak upload foto2nya... gak tega buat foto2 anak nya..karena bisa mewek  liatnya. Cuma muter liatin tapi ga berani berinteraksi lama2.

Eniwei...aku  ga ada maksud pamer sama sekali ya..cuma berbagi cerita aja.
Dan kalo2 ada yang nyumbang bisa langsung buka web nya. Disitu lengkap kok alamat dan no account nya (kalo mau nyumbang uang)



YAYASAN SAYAP IBU BINTARO
Panti Penyantunan & Rehabilitasi Anak Cacat Ganda Terlantar.
Jl. Raya Graha Bintaro No. 33B Pondok Kacang Barat - Bintaro
Tangerang Selatan
Indonesia
15226

Kamis, 14 November 2013

Lihatlah AKU


Ayah, Ibu, tolong jangan risaukan apa yang belum dapat aku lakukan, tapi lihatlah apa yang sudah aku lakukan.

Ayah, Ibu, aku memang belum bisa berhitung, tetapi, lihatlah, aku bisa bernyanyi dan selalu tersenyum ceria.
   
Ayah, Ibu, jangan keluhkan aku tidak bisa diam, lihatlah energiku ini. Bukankah kalau aku jadi pemimpin aku butuh energi sebesar ini.

Ayah, Ibu, jangan kau bandingkan aku dengan anak lain, lihatlah, aku tidak pernah membandingkanmu dengan orangtua lain. Aku hanya satu.

Ayah, Ibu, jangan bentak-bentak aku, lihatlah, aku punya perasaan, seperti engkau juga memilikinya, aku sedang belajar memperlakukanmu kelak.

Ayah, Ibu, jangan ancam-ancam aku, seperti engkau juga tidak suka diancam orang lain. Lihatlah, aku sedang belajar memahami keinginanmu.

Ayah, Ibu, jangan lihat nilaiku yang rata-rata, lihatlah, aku mengerjakannya dengan jujur, lihatlah, aku sudah berusaha.

Ayah, Ibu, aku memang kurang mengerti matematika, tetapi lihatlah aku suka berdoa dan aku senang sekali mendoakan yang terbaik untukmu.

Ayah Ibu, aku memang banyak kekurangan, tetapi aku juga banyak kelebihan, bantu aku, agar kelak kelebihanku berguna bagi sesama.

Ayah, Ibu, bantu aku mengenalmu dengan cara, aku belajar bagaimana engkau mengenalku. Bantu aku belajar melihatmu dari cara engkau melihatku
-------------------------------------

Thanks to TL @Anak Juga Manusia, saat membaca tweet-nya berasa  "ditelanjangi", tertohok langsung di hati, Jlebb!! !musti banyak belajar dan terus belajar.....meski kadang seperti menang kuis "Yess!!! langkahku pas dengan tujuannya",

Minggu, 22 Juli 2012

 
Doa Seorang Ibu

Tidak terasa puteri sulungku, Rayhan Safa Nabila, berusia 12 tahun dan duduk di kelas 6 SD. 6 tahun itu pula 3 Sekolah Dasar di 3 kota dilaluinya. Kelas 6 SD ini Safa bersekolah di sebuah SDSN yang lumayan terkenal di daerah Jakarta Barat.
Sebagai seorang ibu, tentunya aku ingin memberikan yang terbaik untuk puteriku. Seperti biasanya aku selalu berusaha mencari informasi baik melalui internet, media massa atau apapun untuk mengasahku dalam menerpa anak-anakku. Aku ingin mereka selalu merasa mendapat ilmu baru. Bagiku, anak-anakku adalah selembar kertas putih yang harus aku tulis dan hias sebaik dan sebagus mungkin sebagai bentuk pertanggungjawabanku padaNya.
Saat Safa mulai menginjak kelas 6, hampir setiap hari aku browsing soal-soal untuk UN. Nggak sia-sia aku merengek pada suami untuk berlangganan internet di rumah. Selama ini kami memakai modem mobile yang sinyalnya ‘byar-pet’. Dengan sambungan internet di rumah, sekarang areal rumahku sdh WiFi.

Senin, 20 Februari 2012

Ibu Rumah Tangga Profesional

“Mengajar dimana sekarang?” atau “Apa kegiatanmu sekarang?” pertanyaan basi dan garing yang sering saya temui di wall facebook sejak saya banyak bertemu teman-teman kuliah atau sekolah dulu di dunia maya. “Mengajar anak sendiri, biasaaa…ibu rumah tangga” jawab saya. “Ooh…sayang dong kuliah susah-susah” respon yang sangat  menjengkelkan buat saya. “Nggak juga…saya kan Ibu Rumah Tangga Profesional” jawab saya nggak mau kalah. 

Ibu Rumah Tangga Profesional. Saya bangga dengan profesi saya, dan itu yang sering saya tulis di setiap kolom formulir yang menuliskan profesi. Saya bangga menjadi ibu rumah tangga karena setiap hari saya belajar, saya mendapat tantangan baru dan anak-anak adalah inspirasi saya.Ya, menjadi ibu mengubah hidup saya, mengubah prioritas saya dan bahkan membalikkan cita-cita saya. Bukan ke arah negatif tapi justru ke arah yang positif. Anak-anak saya membuat saya memilih jalan hidup berbeda dengan cita-cita saya tetapi kebahagiaan karena memilih jalan ini jauh lebih besar. Setelah menikah dan punya anak, saya mempunyai motto baru  “semuanya gak penting, yang penting itu keluarga”. Setiap kali sakit, yang saya pikirkan bukanlah penyakit saya. Tapi justru gimana anak-anak kalau saya sakit. Siapa yang urus mereka? siapa yang urus ayah mereka?. Setiap kali belanja, yang saya pikirkan hanyalah kepentingan anak-anak dulu, bukan apa yang akan saya beli untuk saya.Setiap kali berjalan, yang saya kuatirkan hanyalah anak-anak, apakah mereka tidak rewel ataupun berbahaya bila ditinggal. Bahkan rasanya bernafas saja hanya anak-anak yang ada dalam pikiran ini, tak jarang karena anak-anak jadi sering lupa pada diri sendiri.Terkadang karena anak-anak dan suamilah, seorang ibu mengambil keputusan besar. Demi anak, diet pun digagalkan. Daripada sakit menahan lapar, lemas tak bisa mengurus mereka akhirnya si ibu berpikir, “Sudahlah, gendut gendut deh… yang penting badanku sehat dan bisa mengurus keluarga”. Yang tadinya gak suka minum obat, yang tadinya gak suka minum susu apalagi susu untuk ibu hamil, yang tadinya gak bisa masak, yang tadinya anti nongkrong di sekolah, yang tadinya paling gak suka baca buku, yang tadinya gak pernah nyuci, yang tadinya gak bisa bikin kue, yang tadinya gak bisa menjahit… akhirnya mau belajar melakukannya semua karena keluarga

Kamis, 16 Februari 2012

PILIH SUAMI ATAU ANAK??

“Bu…besok saya titip anak saya lagi ya, Cuma 2 hari kok. Biasaaa…nengokin ayahnya” Kata tetanggaku saat arisan RT kemarin. Kebetulan kami duduk bersebelahan.  Volume suaranya yang sedikit ngebass membuat beberapa ibu yang duduk di sebelah kami ikutan mendengarkan.  Menjadi penitipan anak buat tetanggaku yang satu ini, adalah hal yang biasa buatku. Maklum sebagai tetangga yang tepat bersebelahan, tak elok rasanya aku menolak permintaan tolongnya. Apalagi sejak setahun lalu, suaminya dipindahtugaskan ke luar pulau. Tiap bulan dia dan suaminya gantian berkunjung. Seperti saat ini, dia akan mengunjungi suami bersama anaknya yang bungsu sedangkan 2 anak lainnya, dititipkan padaku.
“Idih….ibu kok mau aja sih dititipin anaknya, sekali dua kali mah kagak apa-apa, lha kalo sering gini?” kata tetanggaku yang duduk di sebelah kiriku sambil berbisik. Aku hanya tersenyum, “Nggak apa-apa kok Bu”. 

Senin, 13 Februari 2012

Valentine's Day

Teng!!! Jam 12.00 WIB, saatnya aku turn off laptop. Menghentikan kegiatanku menulis dan beralih ke tugas utamaku. Menjemput buah hatiku dari sekolahnya. Waktu 30 menit aku rasa cukup bersiap dan memacu motorku ke sekolah Dita, anakku yang bungsu yang baru duduk di kelas 3 SD. Jarak dari rumah ke sekolah Dita, tidak terlalu jauh, hanya sekitar 3 Km. Macetnya jalanan di Jakarta, memaksaku beralih ke motor dan memilih menantang teriknya matahari siang ini.
    Tepat jam 12.30 WIB bel sekolah berbunyi. Aku yang sudah stand by di halaman parkir sekolah melihat Dita berlarian keluar kelas. Seperti biasa senyumnya selalu mengembang setelah melihatku. Tak ada kebahagiaan yang lebih indah bagiku, selain melihat si bungsuku ini tersenyum sambil berlarian ke arahku  untuk mencium tanganku.